Powered By Blogger

Rabu, 15 Januari 2014

Menjelaskan Kehilangan

Beberapa hari setelah kepergianmu yang entah harus ku sebut apa.­­ Kamu meninggalkan ku(lagi), berjalan bahkan berlali menjauh pergi. Ini bukan yang pertama, juga bukan yang kedua atau yang ketiga. Aku tak pernah menghitung sudah berapa kali kamu datang dan pergi seperti ini. Kamu selalu begitu, datang sebentar mengukir kenangan baru, kemudian pergi tanpa pamit kepadaku.
Namun ada yang berbeda pada kepergianmu kali ini. Aku tahu alasanmu pergi kali ini berasal dari kebodohanku. Kamu pergi setelah membaca kicauanku pada dunia maya itu. Kicauanku kali itu memang ku tunjukkan kepadamu, tapi aku tak pernah meyangka bahwa kamu akan menemukan tulisanku yang satu itu. Aku menyesal pernah menulis tentangmu. Sejujurnya aku hanya ingin menyadarkanmu tentang apa yang aku rasakan. Hanya ingin kau mampu mengerti perasaanku ketika dengan mudahnya kamu datang dan pergi dari hidupku—berkali-kali.
Namanya juga sebuah tulisan, seseorang bisa saja membaca dari sudut pandang dirinya bukan dari sudut pandang penulisnya. Dan itulah yang terjadi diantara kita. Kamu mengartikan tulisanku dari sudut pandangmu, lalu sudahkah kamu membacanya dari sudut pandangku? Tentu belum. Kamu berfikir sesukamu tanpa bertanya padaku dahulu. Setelah itu kamu membalas tulisanku dengan kicauan pada dunia yang sama juga. Saat itu kamu berkata bahwa kamu tak akan mengganggu hidupku. Aku tak pernah mengira kalau kamu akan benar-benar pergi, tapi akhirnya aku sadar kalau kamu memang sudah pergi. Aku terluka, sangat parah. Seharusnya aku tak perlu menangis terisak seperti ini karena kepergianmu bukanlah yang pertama. Tapi mengapa harus ku kunjungi mimpi buruk ini lagi, padahal beberapa hari yang lalu baru saja ku temukan taman pelangi warna-warni. Aku sadar bahwa tawa dan air mata memang sudah menjadi satu paket.
Jika saja kamu mampu membaca fikiranku dan memahimi isi hatiku. Sungguh...kehadiranmu adalah hal yang selalu aku tunggu. Tertawa bersamamu mungkin adalah kebahagiaan yang tak pernah ku rasa sebelumnya. Tapi nyatanya..kamu tak pernah mengerti. Kamu menganggap bahwa hatiku sudah baik-baik saja. Tentu saja tidak. Sekalipun aku sudah mampu menerima segalanya, tetap saja aku tak bisa menggantikan kenangan yang pernah ada. Luka mungkin bisa sembuh, tapi apa kamu yakin bahwa bekasnya akan benar-benar hilang ? Tak mungkin. Seharusnya kamu paham bahwa tak mudah menganggap apa yang yang dicinta adalah hal yang biasa. Dan tak pernah mudah menganggapmu hanya teman ketika perasaanku menjadikanmu kecintaan.
Dimataku kamu berbeda, dihatiku kamu telah jadi segalanya. Inilah perasaanku yang masih sama sejak dua tahun lalu. Cukupkah penjelasanku? Tentu saja tak pernah cukup. Seandainya kau tahu memendam perasaan selama ini sendirian bukanlah hal yang mudah bagiku. Dulu kamu pernah tahu perasaanku, tapi kamu tentu tidak pernah tahu sedalam apa perasaanku. Satu tahun lebih aku jatuh cinta diam-diam, menjadi pemuja rahasia yang tak pernah berani untuk ungkapkan perasaan.
Aku tak pernah marah ketika kamu selalu jadikan aku persinggahan tempatmu meletakkan segala kecemasan. Aku selalu siap jika kau jadikan sandaran tuk menghilangkan penat. Apa selama ini aku pernah menolakmu ketika kau seenaknya masuk tanpa permisi? Kamu  tiba-tiba datang minta ditemani dan ketika lukamu sembuh kemudian kamu pergi lagi dan begitu seterusnya. Sejujurnya aku lelah berdiri di trotoar jalan. Kapan kau kan jadikan aku tujuan ?
Satu hal lagi yang tak pernah kau tahu. Aku menyimpan lukaku dalam-dalam sehingga lukaku tak pernah benar-benar sembuh. Aku hanya bersikap layaknya orang yang tak rapuh. Padahal jika kau sentuh saja mungkin hatiku sudah luruh. Aku tak pernah benar-benar melupakanmu. Dan kai ini aku benar-benar merasa kosong. Ada sesuatu yang tiba-tiba hiang—kamu. Aku berharap hatiku bisa pulih kembali dan mampu melupakanmu. Namun satu hal yang aku sendiri tak tahu mengapa aku masih bertahan dalam ketidaktahuanmu. Hati kecilku meyakini bahwa kamu akan selalu kembali.

Untuk kamu yang tak pernah menyadari kesakitanku
-Bintang


Sabtu, 11 Januari 2014

Untuk Aku dan Kamu yang tak pernah menjadi Kita


Aku masih sangat ingat betapa  dua tahun lalu aku pernah berkenalan denganmu. Tentu saja saat itu kita masih murid kelas sepuluh. Aku juga masih ingat kekikukan dulu saat membalas uluran tanganmu untuk berkenalan. Pertama kali mendengar suaramu saat menyebutkan nama aku sudah tahu bahwa kamu adalah laki-laki maha lembut mempesona. Nada bicaramu tak seberat yang dimiliki pria seusiamu. Kamu berbeda itulah hal pertama yang menarik perhatianku.
Ketika minggu berikutnya kamu meminta nomer handphone-ku. Kamu juga selalu menyapaku lebih dulu. Kemudian kita jadi sering bertukar kabar melalui pesan singkat, bercerita tentang kesukaanku, teman-temanku dan hidupku. Aku tahu aku yang lebih sering membuka tentang pribadiku terhadapmu dan kamu terlalu egois untuk membagi kisahmu padaku. Tapi aku tak pernah ingin memaksamu untuk bercerita tentang apa yang tak ingin kau ungkapkan. Bukannya aku tak peduli, aku hanya takut jika aku memaksa kau akan menjauh.
Sejak saat itu, aku sering diam-diam memperhatikanmu dari sudut yang tak pernah kau tahu. Memandangimu dari jauh adalah hobi baruku kala itu. Aku sering tersenyum sendiri ketika ku temui wajahmu dalam ekspresi yang berbeda-beda. Lagi lagi kamu seperti fokus yang membuatku tertuju hanya padamu. Aku dan kamu tentu tidak pernah tahu apa yang sudah direncakanakan olehNya. Entah kekuatan yang bersasal darimana, yang membuatmu masuk dalam daftar doaku, kamu sudah berada disana; hatiku. Aku pun tak tahu ini cinta atau hanya ketertarikan sesaat. Mungkin rasa ini hadir terlalu cepat tapi nyatanya tak pernah berakhir begitu cepat—rasa itu masih sama.
Aku tahu, kamu memang orang baik dan mudah memberikan perhatian pada siapapun. Mungkin itulah kesalahanku yang tak berhati-hati menggubris semua perhatianmu sehingga membuat hatiku mengartikannya berbeda. Namun apa yang harus kulakukan ketika kau sudah memiliki tempat dihatiku. Dengan cara apa aku bisa mencabut perasaan itu ? Aku membiarkan semuanya mengalir begitu saja. Kita begitu hangat, meski tak pernah ungkapkan cinta atau panggilan sayang. Bagiku yang terpenting adalah kau bersamaku, disisiku, dan aku merasa nyaman. Itu sudah lebih dari cukup bagiku untuk menjaga kita. Bukan. Bukan “kita” tapi aku dan kamu dan tak pernah ada kita. Aku terus mengikutimu dan belum mau berhenti sampai akhirnya aku merasa kesakitan.
Aku sadar aku tak pernah melakukan sesuatu yang berarti dimatamu. Bahkan ketika ulang tahunmu kemarin aku sama sekali tak berusaha mengucapkan apa pun kepadamu. Ketakutanku masih sama; aku selalu merasa “bukan siapa-siapanya kamu” dan perjuangan yang selalu ingin ku lakukan kemudian berhenti pada satu kalimat itu. Lalu, kulakukan saja  permohonan doaku dalam setiap sujud malam, karena namamu tak pernah lepas dari setiap permintaanku. Jika saja kita punya status lebih dari teman, aku pasti akan membawamu kedalam pelukan, menyanyikan lagu selamat ulang tahun juga mengucapkan segala doaku untukmu sehingga kau bisa aminkan. Aku juga ingin kamu mendengar detak jantungku, helaan napasku, dan desir aneh yang kurasakan ketika berada di dekatmu.
Aku sangat menyayangkan ketika kamu menjauh, pergi tanpa pamit lebih dulu. Kedekatan yang dulu pernah ada kini tak lagi tercipta. Kecuali ketika kamu hadir lagi, datang dan pergi tanpa permisi. Ketika aku sudah mulai terbiasa tanpa kamu dan mampu menerima kenyataan, kamu hadir kemudian mengubah dan mengacak acak apa yang susah payah aku susun dengan sangat hati-hati—hatiku.
Diam-diam (lagi) aku mencari tahu kabarmu, lewat kicauan di dunia maya. Aku tak pernah bertanya siapa sosok yang sering kau sebut sebut sebagai pujaan hatimu, tapi aku tahu karena kicauanmu sudah sangat cukup jelas bagiku. Mungkin dia perempuan paling beruntung yang dapat memiliki hatimu. Hatiku mungkin sedikit teriris ketika ku dapati sosoknya ada di biomu. Namun inilah cinta, hanya ada dua orang di dalamnya. Aku cukup sadar diri untuk tak kan ada diposisi orang ketiga.
Aku berusaha tegar saat bertemu denganmu, aku bersikap seoalah semua baik baik saja dan tak pernah terjadi apa-apa diantara kita. Namun, tahukah kamu apa yang membuatku bertahan selama ini menjadi pemuja rahasiamu? Aku tak tahu harus melarikan segala rasa sakitku kemana. Akhirnya aku selalu menulis tentangmu dan rasa sakitku. Lewat tulisan aku bisa uraikan air mataku, kegelisahanku, rasa sakitku, rinduku..segalanya. Aku sangat merindukanmu..sangat..dan sepertinya kamu tak pernah tahu itu. Selama ini aku selalu menunggumu, menunggu kamu menyapaku lebih dulu. Aku rindu kamu mencariku lebih dulu, menghubungiku ketika kamu penat dan inginkan ku jadi persinggahan tempatmu bersandar. Aku tahu aku tak pernah bisa berbuat banyak selain menunggu kamu datang, aku selalu kuat membisu dan tak pernah berani ungkapkan apa yang sesungguhnya aku inginkan. Meskipun ini terlihat sangat bodoh, namun entah mengapa aku tak ingin melupakanmu.
Kalau saja aku punya keberanian lebih, rasanya aku ingin bertanya sesuatu padamu. Apakah kamu tak pernah merasakan rindu diam-diam seperti yang kurasakan saat merindukanmu ? Apakah perasaanmu memang sudah mati hingga kau tak pernah menyadari akan perasaanku ? seberapa butakah hatimu sampai tak menyadari aku berjuang untukmu ? Mengapa kau begitu tega menjadikanmu sebagai persinggahan ?
Seandainya kamu tahu...selama ini aku terseok seok menahan sakitnya mencintaimu. Aku berlumut karena menunggumu yang entah kapan kan kembali. Seharusnya aku berhenti, iya aku  tahu. Tapi entah mengapa hatiku enggan tuk menjauh darimu. Rasanya sangat sulit bagiku untuk ikuti jejakmu untuk berjalan menjauh.
Dalam malam pergantian hari aku sangat sulit untuk terlelap.
Dan diantara buku-buku latihan Ujian Nasional yang harusnya aku kerjakan, aku masih mampu mengingatkmu dengan jelas.
Aku masih merindukanmu.

Pukul 2.20 am 11 Januari 2014